0
Sepi
selalu ku lalui sendiri. Dimana kasih, dimana cinta? Aku tak lagi merasakannya.
Ku biarkan airmata tetap meresap pada dinding-dinding hati, agar tumbuh subur
bunga-bunga cinta di hatiku. Ku biarkan hati yang selalu takut, agar aku tak
lagi menanam harap pada kebun sukmaku. Aku selalu terjaga ketika malam beranjak
fajar, ketika manusia-manusia malas dan sombong itu mendengkur dalam lelapnya.
Aku mengaduh pada-Nya dan menjerit sejadinya hingga tak terdengar suara dari
mulutku, berharap Tuhan bermurah hati padaku.
Aku
bertanya pada Tuhanku, masih adakah tempat yang indah untukku? Dan masihkah ada
sepasang mata orang yang memandangku? Hingga diriku yang sampah ini setidaknya
sedikit lebih dipandang berarti baginya. Sesal yang tumbuh sungguh tak dapat
mengubah semua seperti semula. Aku tetaplah seorang keparat kecil dengan segala
kesialannya. Lalu ini salah siapa? Hingga sepertinya hanya aku sendiri yang
harus menanggung semua kesalahan yang menjadikanku terkutuk.
Tuhanku,
pada malam sepiku telah tercipta harap yang membangunkan aku pada kenyataan.
Dan telah Engkau titipkan benih cinta pada ladang sukmaku yang tandus. Kemudian
tanpa sengaja hujan menyiraminya dengan cara yang aneh. Benih itu tumbuh subur
dalam kecemasan yang belum mulai reda. Aku menjelma layaknya bidadari paling
kasmaran. Namun, tetap pada kidung kepedihan. Hingga pada malam-malam
berikutnya aku kembali pada mimpi-mimpi yang hampir sama. Dia.. dia.. tetap
dia. Lalu salah siapa jika aku mencintanya? Lalu apakah aku harus mengingatkan
kembali pada diriku, siapa aku? Bagaimanakah aku? Agar aku terbangun dari
khayalan yang menggelitik tiap nadi ku.
Sungguh
sial aku! Kembali menemukan diriku dalam ketidakberdayaan kidung lembut
asmaradana. Meski angin berhembus sedikit menyejukkan kalbuku pada saat nadiku
hampir putus, aku tetap takut pada getirnya. Dalam ketidakberdayaanku aku
meradang. Sudah ku bunuh harap sejak dalam kandungan, hingga ia tak pernah
terlahirkan. Namun, tetap saja rasa ini menyiksa. Lalu salahkah jika aku
mengatakannya? Kepadanya, sang purnama.
Pohon
kasih ini tumbuh di antara duri-duri, di antara perih yang masih berkarat di
hatiku. Rasa ini ada ketika aku mulai merasa merindukan getar-getar keindahan
dalam sukma. Merindukan getar dan getirnya. Dan akankah ku biarkan saja
berbunga? Ataukah harus kubunuh hingga ia tak lagi mengada? Aku tak tahu.
Padamu
purnama, aku lantunkan sajak-sajak melankoli. Meski mungkin terdengar lirih
berdesir lewat telingamu, tetap saja ini suara yang lahir dari hati. Setiap
bait puisi yang telah tersuratkan bukanlah tanda cinta, ia hanya wakil dari
resah hati yang tak mampu terlukiskan secara sempurna.
Kepadamu
purnama, alihkan sedikit pikiranmu padaku. Lihatlah aku termangu melihat sinar
perakmu, diantara bayangan hitam rimbun dedaunan. Aku gelisah ketika senja
dengan sengaja memantulkan keindahannya pada sosokmu. Bisakah aku acuh pada
jingga yang elok, yang selalu membawa keteduhan pada tiap desir jiwaku? Bisakah
aku menghidar dari tatapanmu yang membasuh segala kegelisahan? Dan telah ku
coba namun berakhir pada satu kata ‘sia-sia’.
Ketika
jiwa yang gontai ini mulai menapak dengan percaya diri, kembali aku tercekal
pada sesak dan sesal. Aku mungkin tak dapat mencintaimu secara sempurna,
sesempurna purnama. Aku tak sesetia Dewi Shinta. Aku tak selembut Aisyah RA.
Aku bahkan tak seelok bidadari yang telah disiapkan untukmu di surga. Aku pun
tak dapat janjikan mampu mejaga cawan hatiku agar tetap tergambar bayanganmu.
Aku hanyalah jiwa hampa yang mengembara, mencari dermaga yang mengatasnamakan
dirinya kedamaian, mencari bahagia yang tak pernah ku mengerti hakikatnya,
mencari cinta yang tak hanya keindahan semu belaka.
Ku
biarkan jiwa ku tetap mengembara, agar aku mampu melenyapkan bayanganmu untuk
sementara. Dan jika aku kembali pada kegelisahan yang meradang pada jiwaku, aku
akan bergegas menghilang dari hangat sayap-sayap surgawi. Aku adalah jiwa yang
gontai. Aku adalah angin yang berlari pada kedamaian malam. Sunyi, dingin, dan
sendiri.
Kepadamu
purnama. Tanpa kemarin esok pun akan hadir. Di sini, diiringi redupnya mentari
aku berdoa. Semoga apapun yang telah ku lakukan tak kan pernah jadi sia-sia.
Jika kelak kedamaian menitipkan benihnya pada hatimu, akankah engkau mengingat?
Pernah ada seorang keparat kecil sepertiku merinduimu.
Kepadamu
purnama, ku titipkan secuil cerita yang pernah tertulis pada catatan panjang
mu. Meski tak pernah ada alur yang mempesona, semoga detak-detak kegelisahan
jiwamu dapat terobati dengan sempurna. Kelak akan ada kisah yang mungkin lebih
indah yang akan membawamu pada dermaga kebahagiaan. Kelak akan ada gadis kecil
yang akan menulis syair-syair cinta, membisikimu alunan lembut kasihnya, dan
menuntunmu pada cinta yang lebih sempurna, sesempurna purnama.
Karanganyar,
Pada malam-malam sunyi