• Melukis Senja

    Berbagi mimpi

    Tekad say Hidupku hanya sekali serasa seperti bermula ketika mentari beradu dengan awan jingga hingga terbentuklah senja...

    Buton


  • Sepi selalu ku lalui sendiri. Dimana kasih, dimana cinta? Aku tak lagi merasakannya. Ku biarkan airmata tetap meresap pada dinding-dinding hati, agar tumbuh subur bunga-bunga cinta di hatiku. Ku biarkan hati yang selalu takut, agar aku tak lagi menanam harap pada kebun sukmaku. Aku selalu terjaga ketika malam beranjak fajar, ketika manusia-manusia malas dan sombong itu mendengkur dalam lelapnya. Aku mengaduh pada-Nya dan menjerit sejadinya hingga tak terdengar suara dari mulutku, berharap Tuhan bermurah hati padaku.
    Aku bertanya pada Tuhanku, masih adakah tempat yang indah untukku? Dan masihkah ada sepasang mata orang yang memandangku? Hingga diriku yang sampah ini setidaknya sedikit lebih dipandang berarti baginya. Sesal yang tumbuh sungguh tak dapat mengubah semua seperti semula. Aku tetaplah seorang keparat kecil dengan segala kesialannya. Lalu ini salah siapa? Hingga sepertinya hanya aku sendiri yang harus menanggung semua kesalahan yang menjadikanku terkutuk.
    Tuhanku, pada malam sepiku telah tercipta harap yang membangunkan aku pada kenyataan. Dan telah Engkau titipkan benih cinta pada ladang sukmaku yang tandus. Kemudian tanpa sengaja hujan menyiraminya dengan cara yang aneh. Benih itu tumbuh subur dalam kecemasan yang belum mulai reda. Aku menjelma layaknya bidadari paling kasmaran. Namun, tetap pada kidung kepedihan. Hingga pada malam-malam berikutnya aku kembali pada mimpi-mimpi yang hampir sama. Dia.. dia.. tetap dia. Lalu salah siapa jika aku mencintanya? Lalu apakah aku harus mengingatkan kembali pada diriku, siapa aku? Bagaimanakah aku? Agar aku terbangun dari khayalan yang menggelitik tiap nadi ku.
    Sungguh sial aku! Kembali menemukan diriku dalam ketidakberdayaan kidung lembut asmaradana. Meski angin berhembus sedikit menyejukkan kalbuku pada saat nadiku hampir putus, aku tetap takut pada getirnya. Dalam ketidakberdayaanku aku meradang. Sudah ku bunuh harap sejak dalam kandungan, hingga ia tak pernah terlahirkan. Namun, tetap saja rasa ini menyiksa. Lalu salahkah jika aku mengatakannya? Kepadanya, sang purnama.
    Pohon kasih ini tumbuh di antara duri-duri, di antara perih yang masih berkarat di hatiku. Rasa ini ada ketika aku mulai merasa merindukan getar-getar keindahan dalam sukma. Merindukan getar dan getirnya. Dan akankah ku biarkan saja berbunga? Ataukah harus kubunuh hingga ia tak lagi mengada? Aku tak tahu.
    Padamu purnama, aku lantunkan sajak-sajak melankoli. Meski mungkin terdengar lirih berdesir lewat telingamu, tetap saja ini suara yang lahir dari hati. Setiap bait puisi yang telah tersuratkan bukanlah tanda cinta, ia hanya wakil dari resah hati yang tak mampu terlukiskan secara sempurna.
    Kepadamu purnama, alihkan sedikit pikiranmu padaku. Lihatlah aku termangu melihat sinar perakmu, diantara bayangan hitam rimbun dedaunan. Aku gelisah ketika senja dengan sengaja memantulkan keindahannya pada sosokmu. Bisakah aku acuh pada jingga yang elok, yang selalu membawa keteduhan pada tiap desir jiwaku? Bisakah aku menghidar dari tatapanmu yang membasuh segala kegelisahan? Dan telah ku coba namun berakhir pada satu kata ‘sia-sia’.
    Ketika jiwa yang gontai ini mulai menapak dengan percaya diri, kembali aku tercekal pada sesak dan sesal. Aku mungkin tak dapat mencintaimu secara sempurna, sesempurna purnama. Aku tak sesetia Dewi Shinta. Aku tak selembut Aisyah RA. Aku bahkan tak seelok bidadari yang telah disiapkan untukmu di surga. Aku pun tak dapat janjikan mampu mejaga cawan hatiku agar tetap tergambar bayanganmu. Aku hanyalah jiwa hampa yang mengembara, mencari dermaga yang mengatasnamakan dirinya kedamaian, mencari bahagia yang tak pernah ku mengerti hakikatnya, mencari cinta yang tak hanya keindahan semu belaka.
    Ku biarkan jiwa ku tetap mengembara, agar aku mampu melenyapkan bayanganmu untuk sementara. Dan jika aku kembali pada kegelisahan yang meradang pada jiwaku, aku akan bergegas menghilang dari hangat sayap-sayap surgawi. Aku adalah jiwa yang gontai. Aku adalah angin yang berlari pada kedamaian malam. Sunyi, dingin, dan sendiri.
    Kepadamu purnama. Tanpa kemarin esok pun akan hadir. Di sini, diiringi redupnya mentari aku berdoa. Semoga apapun yang telah ku lakukan tak kan pernah jadi sia-sia. Jika kelak kedamaian menitipkan benihnya pada hatimu, akankah engkau mengingat? Pernah ada seorang keparat kecil sepertiku merinduimu.
    Kepadamu purnama, ku titipkan secuil cerita yang pernah tertulis pada catatan panjang mu. Meski tak pernah ada alur yang mempesona, semoga detak-detak kegelisahan jiwamu dapat terobati dengan sempurna. Kelak akan ada kisah yang mungkin lebih indah yang akan membawamu pada dermaga kebahagiaan. Kelak akan ada gadis kecil yang akan menulis syair-syair cinta, membisikimu alunan lembut kasihnya, dan menuntunmu pada cinta yang lebih sempurna, sesempurna purnama.

    Karanganyar, 
    Pada malam-malam sunyi

    Malam,

    biar aku peluk sejukmu..

    dalam segenap raga yang tak berharga.

    Hingga esok jika embun pagi menyapa

    aku hilang bersama mentari bertahta.

    Sepi,

    biar ku genggam hampamu..

    dalam secuil resah tak bertepi.

    Dan tatkala riuh berselang

    aku tenggelam bersama gelapmu.

    Gelap,

    biarku sentuh tiap hitam yang pekat..

    Gundah meraja dan perih merayap..

    Dan ketika harap bersemi

    aku dapat bergegas berlari.

    Menjauh,,,

    Dan Pergi..

    rss
    rss


    Copyright © 2010 Tekadsu Ngeblog All rights reserved.Powered by Blogger.